Sabtu, 17 April 2010
Fenomena Ikhwan dan Akhawat
Tak bisa dipungkiri, da’wah yang kian berkembang pastinya akan diiringi dengan beberapa permasalahan. Salah satu permasalahan yang gencar saat ini adalah fenomena interaksi ikhwan dan akhwat. Medialah yang sudah memberikan jalan, seperti facebook, twitter, dll. Sebenarnya jika orang awam yang bermasalah itu masih bisa dimaafkan, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah cukup paham dengan da’wah. Muncul fenomena take-take-an oleh ikhwan kepada akhwat, dengan harapan akhwatnya bisa bersabar menunggu, ironis sekali jika ini terjadi, sangat disayangkan, waktu penantian yang terbuang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan da’wah, semangat akan kendur, padahal amanah da’wah sudah menunggu di hadapan mereka, masih banyak hal-hal yang lebih penting daripada hanya memikirkan hal yang belum pasti terjadi, jika memang belum siap untuk melangkah lebih jauh. Lain perkara, ada seorang yang menyatakan cinta kepada akhwat, dan akhwatnya pun membalas cintanya, kemudian mereka akhirnya menjalani hari-hari dengan status HTS (Hubungan Tanpa Status), lagi seorang ikhwan yang sangat menginginkan seorang akhwat tertentu, mencoba berulang-ulang kali agar akhwat ini dapat menerima pinangannya, walau akhwatnya tetap menolak, sang ikhwan tetap mengejar, padahal sesungguhnya sudah ada media yang lebih baik, lebih syar’i daripada menembak secara langsung sang akhwat yaitu melalui guru ngaji yang biasa dikenal murabbi. Murabbi adalah orang yang cukup banyak mengenal diri kita selain orang tua, jauh dari itu murabbi pun memiliki bashirah yang kuat, dan insyaAllah cukup smart dalam menentukan peluang baik buruknya seseorang yang menjadi kandidat calon. 
Fenomena lain yang disayangkan, kini lebih banyak pejuang dawah yang lebih senang memilih daripada dipilihkan, walaupun tidak salah, alangkah lebih baiknya jika seseorang itu merasa puas dengan apa yang diberikan murabbi untuknya, dengan siapapun dia, asal memiliki cara pandang yang sama, akhlak yang baik, dan memiliki ghiroh terhadap islam itu sudah cukup. Karena menikah bukanlah urusan pribadi tetapi urusan berjamaah. 

Berikut merupakan petikan wawancara seorang aktivis da’wah kepada seorang ustadz:
Bolehkan jatuh cinta dengan sesama aktivis da’wah?
Cinta adalah fitrah setiap manusia dan merupakan salah satu ni’mat dari Allah SWT. Akan tetapi cinta bagi seorang aktivis da’wahbukan sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata, bukan pula sekedar bersentuhan kulit atau membayangkan kemolekan tubuh atau rupa lawan jenisnya dan bukan pula didorong oleh syair-syair berselera rendah.
Ketika aktivis jatuh cinta, maka dalam konteks keimanan, cintanya merupakan bukti pelaksanaan sunnah Rasulullh sekaligus menggapai mardhatillah, sehingga tidak ada tempat –atas nama cinta- bagiu nafsu rendah yang merusak mardhotillah
Ketika aktifis da’wah jatuh cinta, maka dalam konteks pembinaan, cintanya merupakan bukti peningkatan marhalahnya di hadapan Allah SWT, sehingga tidak ada tempat-atas nama cinta- bagi nafsu yang mengabaikan dan memporak-porandakan asas pembinaan.
Ketika aktifis da’wah jatuh cinta, maka dalam konteks da’wah. Cintanya adalah ekspansi pergerakan menuju gerbang kedua untuk mewujudkan masyarakat yang islami setelah membentuk pribadi yang islami,, sehingga tidak ada tempat-atas nama cinta- bagi nafsu yang menghancurkan tatanan struktur kepribadian islami seorang aktifis da’wah yang telah dibangun dengan susah payah.

Jika seorang aktifis da’wah saling jatuh cinta, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, difahami dan direnungkan dengan jujur,
a. Apakah dengan jatuh cinta sang aktifis sudah siap menuju gerbang pernikahan? Jika sudah, maka lamar dan nikahilah segera. Namun perlu diperhatikan adab dan etika sebagai aktivis da’wah yang terikat dengan institusi da’wah. Tetapi jika belum siap jangan coba-coba jatuh cinta.
b. Sudahkah disadari bahwa jika aktivis da’wah menikah, maka ummat harus mendapat nilai lebih dari pernikahannya berupa nilai keteladanan, nilai keberkahan, nilai kemuliaan islam dan utamanya adalah nilai da’wah? Kalau nilai lebih itu tidak ada, maka apa bedanya pernikahan aktivis da’wah dan pernikahan bukan aktivis da’wah? Padahal aktivis da’wah adalah pemikul risalah da’wah
c. Sudahkah difahami bahwa ketika aktivis da’wahmenikah, maka pernikahannya harus menjadi jalan jihad baginya, sehingga pernikahannya tidak akan didasari hanya karena simbol –simbol duniawi semata seperti fisik, harta, gelar, pendidikan, nasab/keturunan, kedekatan aktivitas ataupun simbol-simbol duniawi lainnya.
Jadi, jika sesama aktivis da’wah jatuh cinta, maka hal itu sah-sah saja dan merupakan selera pribadi. Tetapi sebagai aktivis da’wah hendaknya selera pribadi kita lebih berkualitas, lebih dewasa dan lebih berbobot kerena hal ini terkait dengan tatanan da’wah yang sedang dibangun. Artinya jika sesama aktivis da’wah saling jatuh cinta dengan mengabaikan tatanan da’wah, maka jatuh cintanya sesama aktivis itu hanya akan merusak tatanan da’wah yang sedang dibangun. Minimal merusak tatanan struktur kepribadian keislaman sang aktivis, padahal begitu sulit membangun kepribadian yang islami, tapi runtuh hanya karena urusan jatuh cinta.

Wallahu’alam.

Label: ,

 
posted by Laras at 18.29 | Permalink |


2 Comments:


  • At 28 April 2010 pukul 01.11, Anonymous Anonim

    tidak ada salahnya ikhwan mengajak menikah langsung tanpa melalui mr, memang senbaiknya jama'ah ikut serta dalam proses perjodohan. Namun itu adalah fleksibilitas (al mughoriyat) saja. Yang diajaknya (ikhwan) adalah suatu yang ahsan, "menikah". Hanya saja akhwat sekarang lebih punya kecendrungan untuk melihat materi, dibanding dengan spirit dari pernikahn itu sendiri. Tak beranikah anda menikah? afwan. Muhammad Anwar

     
  • At 13 Juni 2010 pukul 20.56, Blogger Rahmat Slamet Suhendi

    Klo setahu ana ada beberapa cara yg kesyar'iannya tidak lepas, pertama menemui secara langsung kepada orang tua akhwat tersebut, kedua melalui perantara baik dengan murrobi ataupun orang2 sholeh lainnya..wallohu'alam bishowab...

     

Posting Komentar

~ back home